Artikel



George Harrison, gitaris The Beatles, pernah diajukan ke pengadilan karena dituduh mencontek hit dia yang paling terkenal, My Sweet Lord, dari singel yang dirilis tahun 1962 di Amerika Serikat, He’s So Fine. “Kalau kasus ini ditulis, ia akan menjadi sebuah buku yang tebal,” kata Harrison jengkel.

Ceritanya berawal tahun 1962 tatkala He’s So Fine, sebuah komposisi yang ditulis Ronald Mack, direkam untuk trio The Chiffons. Secara hukum lagu ini dimiliki oleh by Bright Tunes Music Corporation. Lagu ini menjadi hit nomor satu di AS dan bertengger di Billboard selama lima pekan.

Di Inggris lagu ini pernah mencapai urutan ke-12 tangga lagu per 1 Juni 1963. Di saat yang sama sebuah lagu The Beatles, From Me to You, bertengger di urutan pertama. Harrison kelak mengakui ia cukup familiar dengan lagu He’s So Fine tersebut.

Selama tujuh tahun berikutnya He’s So Fine tak lebih dari sebuah lagu usang, sementara Harrison mengakhiri kebersamaannya dengan The Beatles untuk memulai karier sebagai artis solo tahun 1970. Bulan Desember 1969 ia sedang tur bersama bandnya, Delaney and Bonnie and Friends di Copenhagen, Denmark. Di pengadilan ia mengatakan, sekitar saat itulah benih My Sweet Lord lahir. Seperti biasa ia bermain-main dengan gitar pada saat senggang dan dari mulutnya keluar kata-kata “hallelujah” dan “hare krishna”. Lalu beberapa personel Delaney ikut nimbrung dan Harrison memulai proses penulisan lirik.

Ketika ia kembali ke London (Inggris), salah seorang anggota Delaney, Billy Preston (kibor), sedang mengerjakan sebuah album. Harrison, yang ikut mengawali proses produksinya, menyelesaikan My Sweet Lord menjadi sebuah versi yang sudah jadi. Dan sekalipun banyak artis yang ikut menyumbang saran, Harrison-lah yang menjadi satu-satunya penulis lagu itu.

Akhirnya album itu selesai dan salah satu lagunya adalah My Sweet Lord yang dinyanyikan Preston. Seperti biasa “lead sheet” yang berisikan melodi, lirik, dan harmoni My Sweet Lord dikirimkan ke AS untuk dimintakan hak kopinya. Bukan My Sweet Lord versi Preston itu yang menjadi disengketakan di pengadilan selama dua dekade itu, namun versi yang termuat dalam album All Things Must Pass yang juga dirilis sebagai singel pada 28 November 1970 di AS.

Tanggal 10 Februari 1971 Bright Tunes secara resmi menuntut Harrison dan dua perusahaan miliknya (Harrisongs Music Ltd di AS dan Harrisongs Music Inc di Inggris), Apple Records, BMI, serta Hansen Publications. Manajer Harrison, Allen Klein, langsung menemui pemilik Bright Tunes, Seymour Barash, untuk berunding.

Barang bukti motif

Usulan Klein untuk berdamai di luar pengadilan ditolak Barash. Klein lalu menyewa jasa seorang musikolog, Harold Barlow, untuk memberikan kesaksian yang intinya menyebutkan, tuntutan Bright Tunes tak berdasar. Celakanya, di tengah proses pengadilan itu Klein dipecat sebagai manajer dan Brigh Tunes berganti pemilik.

Sebelum pengadilan dimulai beberapa pekan lagi, pada Januari 1976, Harrison menawarkan uang damai 148.000 dollar AS. Bright Tunes menolak dan menuntut 75 persen dari royalti di seluruh dunia dan hak kepemilikan atas My Sweet Lord. Berhubung kedua pihak berkeras proses pengadilan pun dimulai lagi 23-25 Februari 1976.

Setelah sejumlah kesaksian dari para ahli didengar dan barang-barang bukti diperiksa satu per satu, maka hakim menjatuhkan vonis bahwa Harrison memang menjiplak He’s So Fine. Hakim berpegang pada barang bukti yang berupa sekuens “motif A” dari lagu itu yang terdiri dari empat repetisi notasi sol-mi-re, “motif B” (sol-la-do-la-do), dan kombinasi (grace note) di antara kedua motif itu (sol-la-do-la-re-do).

Saksi-saksi ahli berhasil menunjukkan bahwa motif-motif itu merupakan pola yang sangat tidak biasa. Dan komposisi My Sweet Lord terbukti paling tidak menggunakan motif A sebanyak empat kali dan motif B tiga kali. Hakim mengatakan, sekalipun terdapat perbedaan kecil, namun “kedua lagu secara jelas sangat identik.” Hakim menambahkan, Harrison bisa saja tak menyadari ia melakukan pencontekan, tetapi itu bukanlah alasan yang legalistis.

Pengadilan menjatuhkan denda dari empat sumber. Pertama dari pelanggaran terhadap “royalti mekanikal” (uang yang dibayarkan label kepada penerbit lagu), royalti penampilan, penjualan, dan dari keuntungan yang diperoleh Apple Records. Hitung punya hitung Harrison dan tertuduh-tertuduh lainnya mesti membayar ke Bright Tunes denda kerugian sekitar 2,1 juta dollar AS ditambah sekitar 1,5 juta dollar AS lainnya untuk denda plagiat atas He’s So Fine.

Namun, para tertuduh naik banding dan selama bertahun-tahun kasus ini tak kunjung selesai. Tahun 1991 sidang kasus ini kembali diadakan dan hukuman denda diputuskan mencapai 587.000 dollar AS. Giliran Bright Tunes yang naik banding dan pada April 1993 kedua pihak yang bersengketa menyepakati denda yang tak diumumkan kepada publik. (bas/Kompas 19/01/07)

Tags: ,


  1. 1971, Best Arrangement Accompanying Vocalists–Paul and Linda McCartney (Paul McCartney, arranger), “Uncle Albert/Admiral Halsey”
  2. 1973, Best Arrangement Accompanying Vocalists–Paul McCartney & Wings (George Martin, arranger), “Live and Let Die”
  3. 1974, Best Engineered Recording– Paul McCartney & Wings (Geoff Emerick, engineer), “Band on the Run”
  4. 1979, Best Instrumental Recording–Wings, “Rockestra Theme”
  5. 1987, Best Performance Music Video, Long Form — “The Prince’s Trust All-Star Concert” (with Paul McCartney)
  6. 1989, Lifetime Achievement Award–Paul McCartney

JOHN LENNON

Ketika lagu-lagu Elvis Presley meledak di sekitar tahun 50-an, John Lennon yang memiliki nama lengkap John Winston Lennon baru berusia 16 tahun. Mendengar lagu-lagu Elvis membuat hati John tergerak untuk mengikutinya. Kemudian ia membujuk ibunya untuk dibelikan sebuah gitar. Meskipun ia akhirnya hanya mendapat sebuah gitar bekas, John cukup puas. Dengan diajari ibunya, Julia, John belajar main gitar walaupun cara mengajarinya salah karena Julia memberikan pelajarannya seperti bermain banjo. Cara ini berarti menyetel lima senar teratas pada kunci G, dan membiarkan senar terbawah menjadi mubazir.

Benar atau salah cara itu, John Lennon mulai memainkan lagu Ain’t That A Shame-nya Fat Domino. Beberapa waktu kemudian, gitar spanyolnya diganti dengan gitar yang lebih bagus. Pada 1957, ia membentuk bandnya yang pertama, yang disebut Black Jack. Anggotanya: John menjadi penyanyi dan gitaris, Pete Shotton pada washboard, Eric Griffiths pada gitar, Rod Davies memainkan banjo, Colin Hanton menabuh drum, dan Bill Smith memainkan bas besar. Lalu mereka mengubah nama menjadi Quarrymen, karena sebagian besar anggotanya adalah murid sekolah Quarry Bank. Band ini belakangan menjadi lebih terkenal. Mereka mengadakan pertunjukkan di pesta-pesta dan bar.

Pertemuannya dengan Paul McCartney dan George Harrison membuat dia kemudian membentuk Beatles. Di kelompok ini, John dikenal sebagai ‘perumus’ filosofi Beatles. Lewat lirik dan musiknya, John tak cuma bicara tentang cinta, tapi juga tentang hal-hal lain seperti kehidupan sosial politik (Give Piece a Chance), pandangan hidup (Imagine dan Oh My Love) dsb. John bahkan memfilsafati akhir hidupnya lewat lagu The Ballad of John and Yoko. Meledaknya album-album The Beatles membuat kehadiran mereka selalu dikerumuni gadis-gadis yang “mabuk Beatles”. Salah satu gadis yang mendekatinya adalah Cynthia Powell. Si pirang dari Hoylake ini memberikan John seorang putra, Julian. Dalam masa perkawinannya, ia sering ditinggal John tur keliling dunia. Bahkan ketika Julian lahir, ia tidak ditunggui John, baru seminggu kemudian ditengok. Itu pun tidak lama, karena John harus pergi kembali bersama grupnya.

Memang, akhirnya perkawinan mereka berlangsung tidak lebih dari 5 tahun, gara-gara masuknya Yoko Ono, seniman avant garde, dalam kehidupan John lennon. kedekatan mereka selama setahun praktis lebih didorong oleh semangat intelektual. kesamaan jiwa seni dan visi intelektual itulah yang menjadi tali pengikat emosional keduanya. Kalau Yoko mengadakan pameran seni, John dengan setia menjadi sponsornya. dengan semakin dekatnya Yoko di hati John, maka jarak emosional yang memisahkannya dengan Cynthia menjadi semakin lebar. Itu pula sebabnya pada November 1968, John memberikan 100 ribu poundsterling kepada Cynthia sebagai uang selamat jalan. Dari uang itu Cynthia menggunakan 25 ribu pound untuk membeli sebuah rumah yang dihuninya bersama ibunya dan Julian, putranya.

Dosa ‘Si Muka Pucat’ belum berhenti di situ. Kehidupannya di masa lampau yang kocar-kacir ikut-ikutan menjerumuskan John menjadi pemakai obat bius. Untunglah hal ini kurang diketahui publik. Namun detektif Inggris sudah lama mencium hal ini. Akhirnya seekor anjing pelacak mendengus-dengus di kantong teropong Lennon. Polisi segera menemukan marijuana. Jumlah yang lebih banyak segera diketemukan dalam sebuah tustel tua. Pemandangan yang menyedihkan, ketika John dan Yoko digiring keluar menuju mobil tahanan polisi, barisan fotografer langsung membidikkan kameranya dari segala sudut.

Tanpa mempedulikan insiden kecil ini, keduanya mulai bekerja dan beberapa waktu kemudian meluncurkan album pertama, hasil kerjasama antara keduanya, Unfinished Music No.1-Two Virgins. Yang mengejutkan adalah gambar sampul yang memperlihatkan buah dada Yoko yang terjela-jela ke lantai studio dan, maaf, penis John Lennon yang menjulang menembus awan telihat jelas tidak disunat. Jadi rupanya itulah yang dimaksudkan dengan two virgins tadi, satu perjaka dan satu dara, dengan organ vital yang dipajang, siap dilempar ke masyarakat. Album ini meledak di pasaran. Bahkan di New Jersey, Amerika Serikat, ketika polisi mencoba membendung 30 ribu kopi rekaman yang siap dilempar, terbukti mereka terlambat. Penjualannya jauh lebih cepat dari yang mereka duga. Dan tornado histeria massa pun menyapu seluruh wilayah sekitarnya.

Pada 20 Maret 1969, hanya delapan hari setelah perkawinan Paul dan Linda, John dan Yoko pun bersicepat mengurus perkawinan. Yoko baru saja menerima surat cerai dari Tony Cos pada 2 Februari. (Jadi kumpul kebo sebelumnya antara John dan Yoko dinilai sebagai berani karena perkeboan sudah terjadi ketika status Yoko masih sebagai istri orang lain). Duabelas tahun Yoko berbagi keedanan bersama John, hingga pada 8 Desember 1980 ketika semua kegilaan, sikap nyentrik, nafsu mencipta yang menggelegak itu dihentikan Mark David Chapman dengan lima tembakan peluru. Waktu John dan Yoko baru tiba di Dakota sehabis rekaman pada pukul 10.50 malam, Chapman sudah siap menghadangnya. Tepat ketika John dan Yoko keluar dari limousine terdengar ada suara memanggil, “Mr. John!”. John menoleh, mencoba melihat ke dalam gelap. Lima langkah di depannya, Chapman sudah memegang senapan dengan laras terkokang.

Lima peluru beruntun menembus badan John, dengan akibat, 80 persen darahnya tumpah dari leher dan bahu. Hasilnya, tak peduli beapa pun canggihnya peralatan Rumah Sakit Roosevelt, tak peduli betapa pun telatennya para perawat dan dr. Stephen Lynn, semuanya tak mampu mengembalikan nyawa John yang segera terbang ke padang perburuan abadi. Lahir di Oxford Maternity Hospital, Liverpool pada 9 Oktober 1940, John meninggal dalam usia produktif ketika ‘kehidupan baru mekar pada usia 40 tahun’.


Dalam sejarah industri musik pop dunia, The Beatles dikenal sebagai band paling sukses yang pernah ada. Malah kesuksesannya nggak cuma di urusan musik saja, tapi juga mempengaruhi segala bidang. Disaat-saat akhir karir The Beatles pada tahun 1970, John Lennon pernah bilang kalau bandnya itu punya nama yang bisa menjadikan segala-galanya jadi besar. Kata-kata ini bukan sekedar bualan saja. Pasalnya komentar ini berdasarkan pengalamannya selama 7 tahun berkarir dengan The Beatles.

Pada masa-masa itu, apapun yang berbau nama The Beatles pasti bakal jadi besar. Album, Singel, dan konser mereka sudah pasti mengeruk keuntungan besar. Berbagai jenis memorabilia (kenang-kenangan) dan merchandise selalu selalu jadi rebutan. Sampai berita soal band personilnya, sekecil apapun, jadi andalan buat menaikkan oplah media.

Ternyata ucapan salah satu pentolan band asal Liverpool, Inggris, itu masih tetap berlaku hingga 30 tahun berikutnya. Buktinya memorabilia The Beatles masih tetap jadi incaran. Album-album baru yang dirilis – meski berupa kompilasi – tetap saja laku di pasaran. Bahkan cerita soal band dan para personilnya terus digulirkan media massa demi meraih keuntungan.

Cikal bakal The Beatles adalah nama band sekolah bentukan John Lennon. Butuh bandnya jadi legendaris, beberapa kali bandnya mengalami perubahan nama.

The Black Jacks (Maret 1957)

The Quarrymen (Maret 1957 – Oktober 1959)

 Johnny and the Moondogs (Oktober – November 1959)

 The Nerk Twins (23 – 24 April 1960)

 The Beatals (awal tahun 1960)

 The Silver Beetles (10 Mei – awal Juni 1960)

 The Silver Beats (14 Mei 1960)

 The Beatles (awal sampai pertengahan Juni 1960)

 The Silver Beetles (pertengahan Juni – awal Juli 1960)

 The Silver Beatles (awal Juli – awal Agustus 1960)

 The Beatles (16 Agustus 1960 – bubar)

Nama The Beatles berasal dari ide John Lennon. Nama ini sebenarnya nggak punya makna yang spesifik. Malah menurut yang ngasih ide, nama band ini nggak lebih dari sekedar becandaan saja. Pasalnya didapat dari hasil permainan kata-kata, yaitu nama serangga (beetle atau kumbang) digabung dengan beat (gaya musik yang dimainkan). The Beatles tenar lebih dulu di Jerman daripada di Inggris, lantaran karir mereka diawali dengan bermain di klub-klub di Jerman. Sehingga sewaktu The Beatles mulai bermain di klub-klub di kota Liverpool, banyak yang menyangka kalau mereka adalah orang-orang Jerman. Apalagi poster konsernya bertuliskan : The Beatles, Direct from Hamburg.

The Beatles mulai bermain di klub-klub di Jerman, atau tepatnya di kota Hamburg, pada bulan Agustus 1960. Sukses cukup besar diraih di Jerman, terbukti dari selalu penuhnya klub-klub tiap kali mereka tampil. Sukses The Beatles bikin iri klub-klub yang awalnya menolak menampilkan mereka dan berusaha menjegal langkah The Beatles. Entah bagaimana caranya, mereka berhasil membuat working permit The Beatles dicabut secara mendadak dan seluruh personil dideportasi keluar Jerman.

Pil penambah tenaga atau doping, mulai digunakan para personil The Beatles saat main di klub-klub di Jerman. Mereka terpaksa menggunakan obat-obatan supaya selalu fit tiap kali manggung, apalagi mereka harus tampil 6 hari seminggu selama 8 jam. Belakangan kebiasaan menggunakan doping membuat mereka terlibat dalam penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya.

Pada awal tahun ’60-an, The Beatles adalah satu-satunya band di Inggris yang tampil dengan gaya urakan dan sembarangan. Ditambah lagi permainan musik yang lebih keras daripada musisi lain. The Beatles terlihat aneh dengan penampilan ini lantaran gaya yang jadi ciri rock ‘n roll itu sudah ditinggalkan musisi Inggris dan mulai tampil rapi. The Beatles nggak tahu adanya perubahan ini, pasalnya sebelum itu mereka lagi sibuk nge-band di Jerman.

Setiap kali selesai manggung pada masa-masa tahun 1961 (era Cavern), para personil The Beatles selalu terlibat dalam perselisihan. Bukan berselisih soal pembagian hasil manggung, tapi karena rebutan pengen jadi supir mobil. Nggak heran, pasalnya di dalam mobil yang sempit mereka harus berdesak-desakan pula dengan instrumen musik. Jadinya buat mendapatkan tempat yang paling enak didalam mobil menurut mereka adalah dengan menjadi supir.


“She loves you, yeah yeah yeah…!” Itulah teriakan yang menggema diantara hebohnya jingkrak-jingkrak serta sibakan rambut mop top (poni) khas The Beatles. Mungkin Anda berkata, ” Ah, itu sih dulu, tahun 60-an.” Eh, ternyata nggak juga. Sampai saat ini teriakan itu tetap bergema. Beatlemania tidak pernah pudar, termasuk di tanah air.

Petikan syair lagu tadi memang milik kelompok The Beatles, sebuah kelompok musik asal Liverpool, Inggris. Ada hal menarik untuk dicermati. Eksistensi mereka ternyata tidak berakhir seiring dengan bubarnya kelompok tersebut di tahun 1970. Tidak juga ketika John Lennon sang pentolan kelompok itu meninggal Desember 1980. Lantas, kekuatan apa gerangan yang membuat mereka begitu perkasa dan abadi?

Iseng-iseng saya membuka-buka koleksi majalah lama. Di majalahTempo edisi 10 Januari 1987 saya menemukan artikel berjudul “Umat Beatles Dimana-mana”. Di situ tertulis cerita tentang “Beatles Melayu” bernama Bharata Band yang melakukan konser di Senayan. Saat itu pertunjukan berakhir dengan kerusuhan serta kerusakan  berat gara-gara histeria penonton. Itu baru Beatles pura-pura. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau itu The Beatles sungguhan! Dan perlu dicatat, itu terjadi 17 tahun setelah The Beatles bubar!

Penikmat lagu-lagu The Beatles memang bejibun dan ada dimana-mana di seantero jagat. Tak heran kalau bermunculan duplikat-duplikat The Beatles yang khusus membawakan lagu-lagu mereka, dan laku! Di Jerman ada kelompok band yang menamakan diri Beatlemania. Di Belanda ada Stefano Sanders alias Bas Muys (lahir 14 oktober 1976) Dia menyanyikan lagu2 karya Lennon/McCartney antara lain From a Window, I Don’t Wanna See You Again, Step Inside Love dll. Penyanyi ini gabung juga di band ‘Stars of 45’, spesialis lagu-lagu legend dengan aransemen ulang, kadang2 jg di medley (yg ada beat nya pake suara tepuk tangan, kayak lagu untuk senam jaman dulu). Lagu2 yang dia nyanyikan, versi aslinya ada di album ‘Songs of Lennon/Mc Cartney never issued’

Di Indonesia sendiri bertebaran kelompok-kelompok semacam itu. Bharata, band asal Jakarta adalah salah satunya. Di Bandung, tercatat ada kelompok Mat Bitel dan Silver Beat (dua-duanya sudah vakum). Belum lagi kelompok- kelompok lainnya  seperti OldCrack, Root, Flower Beat, Cavern Beat, yang juga berada di jalur yang sama.

Ketika album kompilasi bertajuk Anthology dirilis, sambutan masyarakat di seluruh dunia ternyata begitu antusias. Demikian juga halnya ketika album Live at BBC dilempar ke pasaran. Di Bandung, jika Anda rajin memutar-mutar gelombang radio, Anda akan menemukan bahwa ada radio-radio tertentu yang memiliki program khusus lagu-lagu The Beatles. Di acara tersebut, selain tentu saja diputar lagu-lagu The Beatles, juga dibahas berbagai hal yang berkaitan dengan The Beatles, bahkan sampai hal-hal yang kecil. Misalnya, bagaimana nama Martha dalam lagu Martha My Dear bukanlah nama orang seperti yang selama ini disangka orang, melainkan nama seekor anjing kesayangan Paul McCartney. Yang agak mengherankan adalah kenyataan bahwa  pendengar acara-acara tersebut kebanyakan adalah anak-anak muda yang notabene tidak pernah menjamani masa kejayaan The Beatles.

Keheranan yang sama pernah saya alami secara langsung. Suatu ketika, saya dan teman-teman diundang nyanyi di acara parade band alternatif. Anda bisa bayangkan bahwa yang hadir di sana sebagian besar adalah anak muda. Ternyata ketika kami membawakan lagu-lagu “kolot”, mereka ikut bergoyang dan dengan fasih menyebutkan judul-judul lagu The Beatles. Paling tidak, nomor-nomor “top forty” (menurut istilah teman saya) semacam Hey Jude, Revolution, Please Mr. Postman, Obladi-Oblada dll, ternyata mereka kenal dengan baik.

Dari fakta-fakta yang saya paparkan tadi, barangkali kita bisa menarik benang merah yang secara otomatis menafikan asumsi bahwa pendengar lagu-lagu The Beatles adalah kelompok “tua” yang sejaman dengan The Beatles dan sekedar ingin bernostalgia. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah apa yang sesungguhnya “mengikat” penikmat lagu-lagu The Beatles “generasi masa kini” dengan “kelompok masa lalu”?

Dulu, Tato Bharata dan kawan-kawan mengaku sulit untuk memahami fenomena tersebut. Dan sekarang pun, kita ternyata masih mengalami kesulitan yang sama. Yang jelas, The Beatles tetap eksis sejak dulu hingga sekarang, dan bahkan mungkin juga di masa yang akan datang. Entah sampai kapan. Mengingat fenomena luar biasa ini, tak berlebihan kiranya jika para beatlemania di seluruh dunia dengan penuh ketulusan dan kecintaan berteriak, “We love you..yeah..yeah.. yeah..!!”